Tuesday 13 January 2009

"An Act of Free Choice"

Sebagai sejarawan yang paling menguasai sumber arsip Belanda tentang hubungan politik antara Belanda dan Indonesia, termasuk periode 1950-1963 yang menyangkut masalah Irian Barat/Jaya, Dr Drooglever ditugaskan Pemerintah Belanda melakukan sebuah studi independen yang "tidak memihak" tentang proses sejarah seputar Act of Free Choice tahun 1969. 

Penugasannya berawal dari permintaan beberapa anggota parlemen Belanda pada Desember 1999 kepada Menteri Luar Negeri. Menteri bersangkutan segera mengambil tindakan dan meminta kepada Instituut voor Nederlandse Geschiedenis (Lembaga Sejarah Belanda) untuk melaksanakan penelitian, yang kemudian dipercayakan kepada penulis buku ini. 

Drooglever diberi kebebasan penuh untuk menggunakan semua arsip Kementerian Luar Negeri Belanda. Kementerian ini juga membantunya dalam upayanya mengakses arsip-arsip lain di dalam maupun di luar negeri sehingga arsip AS, Australia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat memperkaya informasi tentang topik bersangkutan. Telah diusahakan untuk mempelajari arsip Indonesia, tetapi pada tahun 2002 permohonannya ditolak pemerintah kita. 

Dengan demikian, informasi tentang seluk-beluk internal Indonesia terbatas pada studi laporan-laporan para duta besar Australia dan AS yang bertugas di Jakarta pada waktu itu yang mereka kirim ke Canberra dan Washington, DC. Di samping itu, digunakan pula penerbitan resmi Departemen Luar Negeri RI berjudul Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa yang terdiri dari lima jilid (1996) yang dalam jilid 2 dipaparkan permasalahan sekitar sengketa Irian Barat. 

Juga dilengkapi dengan sumber lain, misalnya, penerbitan memoar Subandrio, yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri luar negeri, memanfaatkan sumber sejarah lisan (oral history), baik yang diperolehnya sendiri maupun yang pernah dilakukan pewawancara lain terdahulu. Perlu ditambahkan pula bahwa sejak awal dinyatakan bahwa menteri yang menugaskannya tidak akan bertanggung jawab atas karya yang dihasilkan, agar sifat ilmiahnya bisa terjamin. 

Bermodalkan begitu banyak sumber primer, Drooglever menghasilkan buku setebal 807 halaman. Mengenai masalah inti seperti yang disebut pada judul buku dipaparkan dalam dua bab terakhir (Bab 13 dan 14), terdiri dari 82 halaman, sekitar 11,5 persen dari seluruh teks. Lebih dari 80 persen menyangkut masa sebelumnya sehingga karya ini sesungguhnya merupakan sebuah buku sejarah Papua sejak penduduknya berhubungan dengan pendatang dari Eropa Barat pada abad ke-16. 

Bagi generasi yang berusia sekitar 70 tahun, yang mengalami masa 1950-1963 sebagai sejarah yang dilewati sendiri (histoire vécue), hasil penelitian yang dimuat dalam buku ini banyak menjelaskan persoalan yang dulu kurang dipahami serta memberi data baru yang dulu tidak diketahui. 

Tambahan detail juga memberi nuansa baru terhadap bentuk citra yang lama. Misalnya, perkembangan perdebatan dalam parlemen Belanda, perimbangan, dan pergeseran kekuatan partai-partai politiknya, bahkan juga pertentangan pendapat internal dalam partai politik itu sendiri. Berhubung kekurangan sumber Indonesia, perdebatan politik di Indonesia sendiri kurang disoroti. 

Ada sedikit disebut tentang perbedaan pendapat antara Bung Hatta dan Bung Karno, dan pada masa menjelang 1969 buku ini memaparkan perbedaan pendekatan antara Adam Malik dan Sudjarwo Tjondronegoro terhadap penyelenggaraan Act of Free Choice ini. 

Sabang sampai Merauke 

Kesatuan Indonesia yang pada abad ke-19 pernah dinyatakan oleh Multatuli dengan ungkapan "untaian zamrud" (gordel van smaragd) dan yang kemudian di sekolah-sekolah ciptaan Hindia-Belanda diajarkan sebagai sebuah wilayah "dari Sabang sampai Merauke", dalam proses dekolonisasi dipreteli dengan mengajukan pelbagai macam pertimbangan. 

Dr Lijphart dalam bukunya yang terkenal mengenai "trauma dekolonisasi" mengajukan beberapa faktor "subyektif dan irasional" yang pada waktu itu mewarnai sikap Belanda, pendapat yang juga diakui oleh penulis buku (hal 147), yakni: chauvinisme [Belanda] yang dilanda frustrasi, keyakinan bahwa dirinyalah yang benar, dan keengganan untuk menerima situasi baru di Indonesia—faktor-faktor yang ketika itu sering memengaruhi pendapat dan tindakan (pemerintah) Belanda. 

Di Malino (Juli 1946) tempat Belanda mengadakan muktamar sebagai langkah pertama ke pembentukan negara-negara federal, Papua masih dianggapnya sebagai bagian Indonesia. Mewakili Papua adalah Frans Kaisiepo dan Dr Victor de Bruijn, seorang pegawai Pemerintah Hindia-Belanda. 

Pada kesempatan ini Kaisiepo telah memperkenalkan nama "Irian", suatu tindakan yang oleh Van Eechoud (Kepala Pemerintah West New Guinea) dianggap telah melampaui kompetensi wakil Papua tersebut. Maka, pada konferensi berikutnya di Pangkal Pinang (Oktober 1946) dan Denpasar (Desember 1946) tak ada wakil dari daerah ini. Alasan yang diberikan pemerintah bahwa tidak ada orang yang "pantas" untuk dikirim (hal 123). 

Dapat dipahami bahwa utusan dari sebuah organisasi seperti Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang muncul pada November 1946 tentu saja tidak bisa dipertimbangkan untuk ikut serta, walaupun mereka ingin hadir di Denpasar ketika Negara Indonesia Timur (NIT) dibentuk (hal 98). Perlu dicatat bahwa terpisahnya Papua dari NIT telah mendapat kritik keras pada konferensi tersebut (hal 131). 

Pada waktu itu beberapa kalangan Belanda memang sudah mempunyai rencana untuk memisahkan daerah ini. Kenyataan bahwa akhirnya nanti Belanda harus keluar dari Indonesia, West New Guinea hendak disediakan sebagai daerah transmigrasi bagi kaum Indo-Belanda di Jawa yang tidak mau berada di bawah Pemerintah RI, tetapi juga tidak akan betah di negeri Belanda. 

Ada pula pertimbangan politik militer mengingat posisi pulau ini yang strategis di Samudra Pasifik tempat Belanda mungkin masih bisa berperan. Namun, alasan yang paling banyak dikemukakan bahwa penduduk Papua "belum matang untuk menentukan nasibnya sendiri" (hal 170). Pertimbangan-pertimbangan ini melatarbelakangi pendirian Belanda pada Konferensi Meja Bundar (1949) sehingga Irian Barat dikecualikan dari keputusan KMB. 

Sebagaimana diketahui, yang paling ngotot ketika itu adalah Menteri JH van Maarseveen. Pada halaman 148-152 dapat kita baca bahwa Van Maarseveen masih mempunyai alasan lain yang "tersembunyi": ada berita rahasia dari Hollandia bahwa prospek pertambangan nikel dan kromium di daerah ini menjanjikan ekonomi yang menguntungkan! 

Sering juga diberi alasan bahwa secara fisik orang Papua tidak sama dengan orang Indonesia sebab itu patut dipisahkan dari RI. Pendapat demikian rupanya menganggap bangsa Indonesia terbatas pada satu bentuk fisik saja, bukan suatu bangsa yang multirasial. Di belahan timur Nusantara, bentuk fisik orang Indonesia bermacam-macam, termasuk yang fisik serupa dengan Papua. Ada indikasi bahwa percampuran ras di kawasan ini sudah terjalin berabad-abad lamanya, jauh sebelum kedatangan orang Eropa, malahan juga sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Ternate dan Tidore. 

Sebuah legenda yang dicatat António Galvão (1544), Gubernur Portugis di Ternate, bercerita tentang empat telur yang melahirkan tiga laki-laki dan satu perempuan, masing-masing kemudian menjadi raja—yang laki-laki menjadi Raja Bacan, Papua, dan Butun—Banggai, sedangkan sang putri menjadi Raja Loloda (Halmahera). 

Juga sebuah kronikel Bacan yang dicatat oleh Dr WPh Coolhaas (1923) menyinggung adanya hubungan dengan Papua pada masa sebelum Ternate dan Tidore muncul dalam sejarah. Kesan yang menarik dari kisah-kisah tradisional tersebut adalah bahwa hubungan dengan Papua sifatnya setara, sama tinggi dan sama rendah, tidak seperti pada masa Kesultanan Tidore yang sewaktu-waktu mengadakan hongi ke tanah Papua untuk menarik upeti. 

Peran intel 

Kita meloncat ke tahun 1955. Pertemuan Indonesia-Belanda di Maison de la Presse, Geneva, dimulai Desember 1955 dan berakhir Januari 1956. Sesudah beberapa tahun masuk peti es, masalah Irian Barat kembali dibicarakan atas usul Indonesia. 

Kita tahu kesudahannya: gagal total dan Uni Indonesia-Belanda yang dibentuk oleh KMB yang sesungguhnya tidak berfungsi, dibatalkan Indonesia secara unilateral. Hubungan diplomatik antara kedua negara diputuskan. Dalam sebuah wawancara dengan Vrij Nederland, AA Gde Agung (Menteri Luar Negeri dan pemimpin delegasi Indonesia pada perundingan itu) mengisahkan suasana konferensi. Betapa angkuh dan meremehkannya sikap Menteri Luns, pemimpin delegasi Belanda, terhadap utusan Indonesia. 

Yang tidak diketahui, dan yang baru terungkap dalam buku ini, adalah peran badan intelijen Belanda yang bukan saja memberi informasi yang tepat, tetapi berhasil membaca semua telegram yang dikirim antara perutusan Indonesia di Geneva dan pemerintah di Jakarta. 

Seperti kata pepatah Inggris, knowledge is power, maka pihak Belanda berada dalam kedudukan yang lebih kuat. Luns bersama kelompokmya mengetahui betul kelemahan delegasi Indonesia yang diutus oleh pemerintah di bawah Burhanuddin Harahap yang sedang goyah posisinya dan yang tak lama lagi akan diganti. Mereka tahu bahwa keputusan apa pun yang akan diambil oleh perundingan Geneva tidak akan begitu mengikat dalam suasana politik Indonesia yang berubah-ubah (hal 224). 

Bagaimana dengan kegiatan intel Indonesia? Mungkin sekali kita tak pernah akan memperoleh akses terhadap arsip-arsipnya, meskipun peristiwanya sudah separuh abad yang lalu. Ada buku Ken Conboy yang berjudul Intel—Inside Indonesia’s Intelligence Service (2004), tetapi sumber arsipnya tidak jelas. Prinsip politik keterbukaan sebagaimana berlaku di Amerika Serikat yang sewaktu-waktu mengungkapkan "skandal CIA", seperti yang belum berapa lama berselang terjadi, bukan atau belum merupakan bagian dari budaya politik kita. 

Pada masa Trikora, ada kesan bahwa intel kita kurang berfungsi. Paling tidak, pasukan relawan yang didrop di Irian Barat tidak diberi informasi tepat tentang situasi dan kondisi lapangan: di tempat mana saja mereka bisa mendapat dukungan masyarakat setempat dan di mana akan menghadapi perlawanan. Ternyata hanya di beberapa tempat saja mereka dibantu masyarakat lokal. 

Sebagian besar pasukan ini tertangkap. Caranya mudah, menurut arsip yang digunakan Drooglever, di tiap permukiman disediakan dua balok besar yang dicat putih. Jika penduduk melihat ada pendatang yang tidak dikenal, mereka menempatkan dua balok itu dalam posisi silang sehingga bisa diketahui pesawat udara yang berpatroli. Jadi Belanda segera dapat mengirim pasukan untuk menangkap para pendatang yang dicurigai (hal 353). 

Pepera 

Fokus buku adalah Een Daad van Vrije Keuze (Sebuah Tindakan Pilihan Bebas), dalam bahasa Inggris An Act of Free Choice, atau yang lebih dikenal di sini sebagai Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Tekanan diberi kepada kata pertama—sebuah—dengan kata lain, menurut penulis ada alternatif tindakan lain untuk menentukan pilihan bebas itu, misalnya, yang lazim diadakan di negara Barat. 

Sebagaimana maklum, penentuan pendapat dicapai secara musyawarah lewat Dewan Musyawarah Pepera (DMP), sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Ada laporan tentang intimidasi, terutama dari pihak tentara. Namun, dunia internasional, umumnya lewat PBB—kecuali beberapa negara Afrika yang mendukung aksi Nicolaas Jouwe—menerima kenyataan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia (keputusan 19 November 1969). 

Dalam dua bab terakhir kita membaca betapa kecewanya Ortiz Sanz, utusan istimewa PBB yang ditugaskan untuk menyaksikan pelaksanaan penentuan pendapat tersebut. Kekecewaan ini diungkapkannya di Jakarta kepada para diplomat di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Belanda (antara lain hal 679). Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan H Amirmahmud dalam bukunya Prajurit Pejuang (Otobiografi), Jakarta, PT Rora Karya Offset, 1987. 

Mungkin sekali Sanz sebagai diplomat menunjukkan sikap yang berbeda bila berhadapan dengan pejabat Indonesia, Belanda, dan Amerika. Dan Dr Drooglever rupanya hanya mempelajari aspek-aspek hubungan internasional sehingga tidak menggunakan memoar Amirmahmud yang sebagai Menteri Dalam Negeri sangat berperan dalam Pepera. Buku yang terbit pada tahun 1987 ini tentu saja sudah masuk dalam koleksi berbagai perpustakaan mancanegara. 

Dalam otobiografi Amirmahmud tersebut secara lantang dikatakan (hal 334-335) bahwa Presiden Soeharto berpesan ketika melantiknya, "...dan yang kemudian diulanginya beberapa kali" bahwa Pepera adalah salah satu kewajiban internasional RI, tetapi "Presiden juga berpesan bahwa Pepera jangan sampai gagal". 

Dalam melaksanakan pesan Presiden ini beliau berbeda pendapat dengan Sudjarwo Tjondronegoro SH yang waktu itu adalah Duta Besar RI di PBB dan yang "kurang menyetujui langkah-langkah persiapan yang saya ambil", yang menurut Sudjarwo "agak kurang sesuai dengan hukum internasional". 

Namun, wewenang terakhir ada di tangan Menteri Dalam Negeri yang berpendapat bahwa "masalah Pepera bukan saja menyangkut masalah hukum, tetapi juga masalah perjuangan Bangsa. Kalau Pak Djarwo melihat bahwa masalah ini sebagai ahli hukum, maka saya melihatnya sebagai pejuang.... Saya berpendapat bahwa kita harus terang-terangan saja dalam masalah ini. Nampaknya Ortis Sans (sic) juga mempunyai pendirian yang moderat. Ia tidak ingin menimbulkan persoalan baru. Sikap Wakil PBB itu ternyata sangat membantu pelaksanaan Pepera". 

Itulah perbedaan presentasi tentang sikap utusan PBB tersebut. Drooglever mengutip dari dokumen tertulis, sedangkan Amirmahmud menarik kesimpulan dari sikap dan tindakan Sanz menurut pengamatannya. 

Di sisi lain, ada kesan pula bahwa pelaksanaan penerbitan buku ini agak tergesa-gesa. Kecermatan yang biasa kita kenal dari karya penulis sebelumnya—terutama penerbitan sumber arsip—tidak ditemukan sekarang, khususnya dalam hal pengeditan. 

Beberapa kesalahan perlu disebut: pada halaman 114 seharusnya Negara Sumatera Timur, bukan "Sumatera Barat"! Terjemahan bahasa Belanda "Tri Komando Rakyat" atau Trikora bukan Drie Bevelen aan het Volk, tapi van het Volk (hal 421), atau dalam bahasa Inggris, The People’s Threefold Command. Nama diplomat Indonesia adalah Umarjadi, bukan Umarjaid (hal 531, 539, index), dan jumlah jenderal yang dibunuh oleh Gerakan-30-September, adalah enam (ditambah seorang letnan), bukan delapan (hal 620)! 

Sejak tahun 2000 nama Irian Jaya resmi menjadi Papua—suatu langkah yang bukan saja sekadar menyangkut perubahan nama, melainkan juga membuka banyak kemungkinan perkembangan baru. 

Dalam sebuah wawancara dengan Newsweek awal Maret 2006, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa kita harus mengubah paradigma sekuriti internal dan menempuh metode baru untuk menyelesaikan konflik dalam negeri, termasuk permasalahan di Papua Barat. 

Buku yang sedang dibicarakan ini mengandung banyak informasi tentang keadaan lokal, sejarah politik, dan perkembangan masyarakat Papua. Dilengkapi dengan studi-studi ilmiah lainnya dalam bidang antropologi, misalnya, dan berdasarkan pengalaman kontak intensif sejak 1962, niscaya ditemukan solusi terbaik bagi semua pihak, khususnya bagi kepentingan akar rumput masyarakat Papua sendiri.


No comments: